Iklan

Iklan

Okara
September 29, 2024, 19:31 WIB
Last Updated 2024-09-29T12:31:14Z
Edukasi

Asal Usul Nama Lubang Buaya dan Alasan Pemilihan Lokasi untuk Pembuangan Korban G30S

Read To
Advertisement
Asal Usul Nama Lubang Buaya dan Alasan Pemilihan Lokasi untuk Pembuangan Korban G30S



Okara.biz.id - Lubang Buaya adalah lokasi yang dikenal sebagai tempat pembuangan jenazah para jenderal yang menjadi korban dalam Peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Pada malam tanggal 30 September 1965, sejumlah jenderal yang dibunuh dalam insiden tersebut dimasukkan ke dalam sumur yang kini dikenal sebagai Lubang Buaya.

Saat ini, lokasi tersebut telah dibangun menjadi kompleks Monumen Pancasila Sakti, yang berfungsi sebagai pengingat atas peristiwa G30S dan penghormatan terhadap jasa para Pahlawan Revolusi. Namun, pertanyaan yang muncul adalah mengapa sumur ini dinamakan Lubang Buaya dan mengapa menjadi lokasi eksekusi tujuh jenderal dalam peristiwa tersebut.

Asal Usul Nama Lubang Buaya

Nama Lubang Buaya berasal dari nama kelurahan di mana jenazah para jenderal tersebut ditemukan. Mereka termasuk Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A. Tendean. Sumur yang menjadi tempat pembuangan enam jenderal dan satu perwira ini dikenal sebagai Sumur Maut.

Terdapat dua versi mengenai asal usul nama Lubang Buaya sebagai tempat bersejarah.

Versi Pertama

Menurut Serma Muhammad Soleh dari Baur Bin Info Monumen Pancasila Sakti, nama Lubang Buaya berakar dari cerita masyarakat setempat. Masyarakat percaya bahwa ada seorang ulama dan pejuang pada masa penjajahan Belanda yang bernama Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah. "Menurut hikayat orang sini, ada seorang sakti di daerah ini, yang dikenal sebagai Datuk Banjir," jelas Soleh, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com (30/9/2023).

Dalam kisah tersebut, Datuk Banjir dilaporkan pernah menaiki getek di Kali Sunter untuk menuju Jakarta pada abad ketujuh. Di tengah perjalanannya, getek yang ditumpanginya seolah tersedot ke sebuah lubang hingga menyentuh dasar Kali Sunter, tetapi ia selamat dari arus yang menyeretnya.

Masyarakat setempat meyakini bahwa kejadian itu disebabkan oleh sosok siluman buaya putih bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang tinggal di Kali Sunter, yang memiliki anak buaya buntung bernama Mpok Nok. Datuk Banjir kemudian melawan kedua buaya tersebut dan setelah berhasil menaklukkan mereka, ia memberikan nama Lubang Buaya untuk daerah tersebut.

Versi Kedua

Selain dari cerita masyarakat, versi lain menyebutkan bahwa nama Lubang Buaya berasal dari sebutan untuk sungai atau lubang yang berbahaya, karena arus di lokasi tersebut cukup deras. Berdasarkan informasi dari Encyclopedia Jakarta Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, penelitian arkeologi dilakukan di daerah ini pada tahun 1986, di mana ditemukan sebuah lubang yang menghubungkan permukaan hingga ke dalam tanah. Konon, lubang tersebut merupakan habitat bagi buaya, meskipun Soleh menegaskan bahwa kini lubang itu sudah tidak lagi menjadi tempat tinggal buaya.

Soleh juga menjelaskan bahwa lokasi Lubang Buaya dulunya merupakan desa yang dikelilingi hutan karet dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pada masa awal kemerdekaan, daerah tersebut sepi, hanya ada 13 rumah penduduk, serta sumur tua yang menjadi tempat penemuan jenazah para Pahlawan Revolusi. Tiga rumah penduduk menjadi tempat bersejarah yang diabadikan di kompleks Monumen Pancasila Sakti, yakni Serambi Penyiksaan, Pos Komando, dan Dapur Umum.

Alasan Lubang Buaya Dipilih Sebagai Lokasi Eksekusi


Sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com (29/3/2023), Lubang Buaya dipilih sebagai lokasi eksekusi para Pahlawan Revolusi karena merupakan basis dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Wilayah Lubang Buaya juga masih berada di bawah pengaruh kelompok tersebut. Penetapan Lubang Buaya sebagai markas PKI dilakukan dengan izin Mayor Udara Sujono, Komandan Resimen Keamanan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Pangkalan Udara Halim, setelah Kepala Biro Khusus PKI, Sjam Kamaruzaman, membangun komando untuk menculik perwira TNI AD pada 12 Agustus 1965.

Jenazah para jenderal ditemukan oleh Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) berkat kesaksian seorang polisi bernama Sukitman yang berhasil melarikan diri saat dibawa ke Lubang Buaya. Pada 1 Oktober 1965, ketujuh jenazah ditemukan dalam kondisi bertumpuk di dalam sumur tua yang tertutup dedaunan, kain, dan batang pisang. Proses pengangkatan jenazah dimulai pada 3 Oktober 1965, dan jenazah mereka akhirnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan HUT ke-20 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.


(*)