Iklan

Iklan

Okara
September 06, 2024, 20:54 WIB
Last Updated 2024-09-06T13:54:44Z
Islami

Kitab Thaharah: Panduan Mengenai Air dan Bejana dalam Fiqh Syafi’i

Read To
Advertisement
Kitab Thaharah: Panduan Mengenai Air dan Bejana dalam Fiqh Syafi’i



Allah Ta’ala berfirman: "Dan Kami turunkan dari langit air yang suci" (QS. Al-Furqan: 48). 

Ayat ini menjadi dasar bahwa air yang digunakan untuk menghilangkan hadats dan najis haruslah air mutlak, yakni air yang masih dalam kondisi aslinya tanpa campuran yang mengubah sifatnya. Jika air berubah karena tercampur dengan sesuatu yang tidak diperlukan, seperti kunyit, sehingga tidak lagi dapat disebut air mutlak, maka air tersebut tidak lagi bisa mensucikan.

Air yang mengalami perubahan yang tidak menghilangkan status mutlaknya, seperti perubahan akibat lumpur, lumut, atau bejana tempat air disimpan, tetap dianggap suci. Begitu pula jika perubahan itu terjadi karena kayu, minyak, atau tanah yang terjatuh ke dalam air, menurut pendapat yang lebih kuat (adhhar).


Air Musyammas dan Air Musta’mal

Air musyammas, yaitu air yang dipanaskan oleh matahari, dimakruhkan penggunaannya menurut sebagian pendapat. Namun, Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang lebih kuat menyatakan air musyammas tidaklah makruh secara mutlak, karena tidak ada dalil yang kuat mendukung kemakruhan ini[1].

Air musta’mal (air bekas digunakan untuk bersuci) tidak mensucikan menurut qaul jadid (pendapat baru). Namun, jika air musta’mal terkumpul hingga mencapai dua qullah, maka ia bisa kembali mensucikan menurut pendapat yang ashah (lebih kuat)[2].

Dua Qullah: Ukuran Air yang Tidak Najis

Air yang mencapai dua qullah tidak akan menjadi najis meskipun terkena najis, kecuali jika najis tersebut mengubah rasa, warna, atau bau air. Dua qullah ini kira-kira setara dengan 500 rithl Baghdad atau sekitar 216 liter[3]. Jika air kurang dari dua qullah terkena najis, air tersebut menjadi najis, kecuali jika jumlah air ditambah hingga mencapai dua qullah tanpa mengalami perubahan.

Hewan yang Tidak Menajiskan Air

Bangkai hewan yang tidak memiliki darah mengalir, seperti kumbang dan lalat, tidak dianggap menajiskan air. Hal ini menjadi pendapat yang masyhur dalam fiqh[4]. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa najis yang tidak tampak oleh mata, seperti setitik air kencing atau najis yang dibawa oleh kaki lalat, dimaafkan dan tidak menajiskan air[5].

Bejana Emas dan Perak

Diperbolehkan menggunakan semua jenis bejana yang suci, kecuali bejana yang terbuat dari emas dan perak. Penggunaan serta kepemilikan bejana dari emas dan perak haram menurut pendapat yang ashah[6]. Namun, bejana yang hanya disepuh dengan emas atau perak masih diperbolehkan menurut pendapat yang ashah. Jika sambungan emas atau perak pada bejana hanya sedikit dan sekadar untuk keperluan, maka diperbolehkan[7].



Catatan:


1. Imam Nawawi dalam Raudhatut Thalibin (8) menyebut bahwa air musyammas tidak makruh secara mutlak.

2. Raudhatut Thalibin(7): Air musta’mal tidak mensucikan, kecuali jika mencapai dua qullah.

3. Dua qullah setara dengan bejana kubus berukuran 60 x 60 x 60 cm atau 216 liter (Al Fiqhus Syafi’i Al Muyassar: 1/81).

4. Mughnil Muhtaj (1/53) menjelaskan hewan seperti kumbang dan lalat tidak menajiskan air.

5. Kanzur Raghibin (1/77): Najis yang sangat sedikit, seperti setitik air kencing, dimaafkan.

6. Raudhatut Thalibin (8): Emas dan perak dilarang digunakan sebagai bejana.

7. Raudhatut Thalibin (8): Sambungan emas atau perak yang kecil diperbolehkan jika sekadar untuk keperluan.