Advertisement
Okara.biz.id - Dalam sebuah pernyataan yang mengundang perhatian publik, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo, atau yang akrab disapa Bamsoet, mengusulkan agar Soeharto, Presiden kedua Indonesia, diberikan gelar pahlawan nasional. Usulan ini disampaikan dalam acara Silahturahmi Kebangsaan yang berlangsung di Gedung Nusantara IV MPR pada Sabtu, 28 September 2024, dan mengundang berbagai tanggapan dari berbagai kalangan, baik yang mendukung maupun yang menentang.
Bamsoet menyatakan bahwa Soeharto layak menerima gelar tersebut karena pengabdiannya selama lebih dari tiga dekade bagi bangsa Indonesia. Ia menyoroti berbagai pencapaian yang diraih selama kepemimpinan Soeharto, terutama dalam membawa Indonesia dari kondisi ekonomi yang buruk menuju status negara berkembang. Hal ini tercermin dalam kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 1960-an, yang dianggap sebagai salah satu periode tersulit dalam sejarah bangsa.
Menurut Bamsoet, pada tahun 1963, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga minus 2,25 persen, dengan inflasi yang melonjak hingga 635,3 persen pada tahun 1966. Di tahun 1967, Indonesia juga tercatat sebagai negara miskin dengan utang mencapai 700 juta dolar AS. Namun, tantangan berat tersebut tidak menyurutkan langkah Soeharto dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Bamsoet mencatat bahwa dengan bantuan tim pakar ekonomi, termasuk Soemitro Djojohadikoesoemo, Soeharto mampu mengembalikan keadaan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1969, pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 12 persen, dan inflasi dapat ditekan.
Selain itu, Bamsoet juga mengungkapkan beberapa pencapaian lain di bawah kepemimpinan Soeharto, seperti keberhasilan Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang meluncurkan satelit pada tahun 1976 dan pencapaian swasembada pangan pada tahun 1984. Ia menekankan bahwa Soeharto, sebagai Bapak Pembangunan, dikenal sebagai sosok yang berani berinovasi dan menerapkan gagasan-gagasannya dalam berbagai program pembangunan, seperti Repelita dan program transmigrasi.
Meskipun demikian, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak lepas dari kontroversi. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 mengenai Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024, Bamsoet mengumumkan bahwa nama Soeharto telah dicabut dari ketetapan tersebut atas usulan Fraksi Partai Golkar.
Usulan penghapusan tersebut dianggap sebagai langkah mundur oleh banyak kalangan, termasuk oleh Amnesty International. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik keputusan MPR dan menyatakan bahwa langkah ini membuka jalan bagi pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu. Usman menekankan bahwa kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, dan kejahatan korupsi yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan Soeharto belum sepenuhnya diungkap dan diusut tuntas.
Kritik juga datang dari masyarakat sipil yang bergerak di sektor anti-korupsi. Mereka berpendapat bahwa penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR 1998 dan pemberian gelar pahlawan nasional akan mempersempit ruang gerak untuk mengadvokasi keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di masa lalu. Apalagi, tindakan ini beriringan dengan desakan untuk memberikan pengakuan atas jasa-jasa Soeharto, yang justru dianggap melecehkan korban dan keluarga mereka yang masih menuntut keadilan.
Usman Hamid menegaskan bahwa jika langkah ini dilanjutkan, akan berdampak buruk bagi perjalanan reformasi yang telah dilakukan sejak tahun 1998. Reformasi tersebut bertujuan untuk memastikan kebebasan politik dan keadilan sosial, dan langkah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dinilai sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita tersebut.
Sementara itu, Bamsoet mengajak generasi mendatang untuk mengambil hikmah dari berbagai peristiwa masa lalu, agar tidak ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa. Ia berharap agar sejarah dijadikan pelajaran berharga untuk pembangunan karakter bangsa Indonesia di masa depan.
Polemik mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia dan tantangan dalam merumuskan identitas bangsa. Di satu sisi, Soeharto diakui sebagai tokoh yang berhasil membawa Indonesia menuju perkembangan dan stabilitas. Di sisi lain, banyak kalangan yang tidak bisa melupakan catatan kelam di bawah kepemimpinannya yang ditandai dengan pelanggaran HAM, korupsi, dan otoritarianisme.
Diskusi mengenai gelar pahlawan nasional ini mengundang banyak pertanyaan tentang bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia mengingat dan menilai tokoh-tokoh sejarahnya. Apakah penghargaan harus diberikan semata-mata berdasarkan pencapaian pembangunan, atau juga harus mempertimbangkan aspek moral dan etika dari kepemimpinan tersebut? Ini adalah tantangan besar bagi bangsa Indonesia dalam mengkaji kembali warisan sejarah dan merumuskan arah masa depan yang lebih baik.
(*)